Perbedaan Antara Dakwah Terhadap Penguasa dan Rakyat

Perbedaan Antara Dakwah Terhadap Penguasa dan Rakyat

Beritahu yang lain

Share on twitter
Share on telegram
Share on whatsapp

Sasaran dakwah seorang da’i yang berjalan di atas manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah, mengikuti manhaj salafus shaleh dalam memperbaiki keadaan ummat dan menggiring mereka agar istiqomah di atas agama Allah ialah senantiasa mengharapkan hidayah bagi manusia dan ibra’ adz dzimmah di hadapan Allah.

Maka oleh karena sasaran inilah yang menjadi pusat perhatian utama, maka seorang da’i yang lurus harus senantiasa berjalan di atas hikmah dalam setiap urusan, perbuatan maupun perkataannya. Hendaknya dia menempatkan manusia sesuai dengan keadaan mereka sesuai dengan yang ditentukan Allah bagi mereka. Dia harus menghadapi manusia dengan metode yang lebih mendorong untuk diterimanya nasehat dan berhasilnya dakwah.

Dalam hal ini, Ahlus Sunnah wal Jama’ah para pengikut salafus shaleh mempunyai jalan dan metode serta manhaj yang kokoh dalam berdakwah kepada penguasa dan rakyat. Cara yang mereka tempuh berbada pula sesuai dengan perbedaan kedudukannya masing-masing.

Suatu hal yang semestinya ada untuk keberhasilan suatu dakwah ialah, memahami keadaan manusia itu sendiri, tugas-tugas atau jabatannya, serta watak dan tabiat mereka, sesuai dengan kondisi dan kemampuan yang ada pada mereka. Tentunya dakwah yang digelar seorang da’i harus sesuai dengan situasi dan kondisi para mad’u tersebut.

Secara rinci,maksudnya ialah, bahwa Ahlus Sunnah wal Jama’ah para pengikut salaf mempunyai jalan dan manhaj yang jelas, mulia kedudukannya; bersumber dari cahaya nubuwwah dan hidayah, yaitu rasullah.

Sehingga, kewajiban pertama seorang da’i sebelum hal-hal lainnya, terutama yang berkaitan dengan penguasa ialah ketundukan mereka  dengan menjalankan apa yang Allah perintahkan kepada mereka dalam memenuhi hak seorang penguasa.

Berkaitan dengan hal ini, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menerangkan:

“Sesungguhnya Nabi memerintahkan untuk taat kepada para imam-iamam yang bertauhid, yang dikenal mempunyai kekuasaan dan kemempuan memerintah dan mengatur manusia.”

Di samping itu, manusia akan senantiasa dalam kebaikan selama mereka memuliakan para penguasa dan ‘ulama serta menunaikan hak-hak mereka. Jika mereka betul-betul memuliakan keduanya, niscaya Allah akan memperbaiki urusan dunia dan agama mereka. Sebaliknya, jika mereka meremehkan dan melecehkan keduanya, niscaya runtuhlah urusan agama dan dunia mereka.

Perintah tersebut merupakan hak seorang waliul amri (penguasa) yang harus ditunaikan oleh segenap lapisan masyarakat. Apabila hal ini dilanggar dan tidak dipahami, akhirnya dakwah yang menyimpang jauh dari perintah tersebut akan menjadi fitnah dan malapetaka. Bahkan dakwah seperti itu justru merupakan inti suatu kerusakan dan salah satu sebab yang menimbulkan fitnah di tengah-tengah kehidupan manusia.

Adapun yang paling mengerti tentang prinsip utama ini adalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah para pengikut salaf. Mereka telah tegaskan dalam tulisan-tulisan mereka bahwasanya hak seorang penguasa untuk dinasehati secara rahasia dalam setiap kemungkaran yang bersumber dari dirinya. Tidak boleh melakukannya di tengah-tengah orang banyak, di tengah keramaian, karena hal itu menyebabkan berkobarnya fitnah dan dorongan untuk memberontak.

Ada beberapa nash yang memahamkan kepada kita tentang manhaj yang lurus ini; bagaimana bermuamalah dengan para penguasa, mengarahkan mereka kepada kebaikan dunia dan agama mereka. Nash-nash tersebut mendorong kaum muslimin untuk tetap mendengar dan menaati penguasa dalam setiap kebaikan. Di antaranya ialah:

  1. Firman Allah:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ

“Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya) dan ulil amri di antara kamu.” (An-Nisa’ 59)

  1. Sabda Rasulullah dalam hadits Ibnu ‘Abbas:

“Barangsiapa yang melihat pada pemimpinnya suatu perkara yang tidak disukainya, maka hendaklah dia bersabar. Karena sesungguhnya siapa yang memisahkan diri dari jama’ah sejengkal, lalu dia mati, maka matinya mati jahiliyah. “ (HR.Muslim)

  1. Sabda Rasulullah dalam hadits ‘Abdullah bin Mas’ud:

“Sesungguhnya akan terjadi sepeninggalanku sikap atsarah dan hal-hal yang kalian ingkari.” Para sahabat bertanya: “Ya Rasulullah, apa perintahmu kepada siapa saja dari kami yang mendapati keadaan demikian?” Beliau bersabda: “Kalian tunaikan hak yang wajib atas kalian dan meminta kepada Allah apa yang menjadi hak kalian.” (HR. Muslim)

  1. Sabda Rasulullah dari Abu Hurairah:

“Tetaplah engkau mendengar dan taat, baik dalam keadaan sulit, ataupun mudah, dalam perkara yang kau sukai dan kau inginkan ataupun tidak kau sukai serta adanya atsarah terhadapmu.” (HR.Muslim)

  1. Sabda Rasulullah dari Hudzaifah Ibnul Yaman:

“Engkau ttetap mendengar dan mentaati pemimpin (penguasa) meskipun punggungmu dipukul dan hartamu dirampas. Tetaplah mendengar dan taat.” (HR.Muslim)

Inilah beberapa nash yang semuanya menerangkan dengan jelas manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah para pengikut salaf dalam menghadapi penguasa ketika muncul dari penguasa itu hal-hal yang mengharuskan mereka dinasehati. Tidak ada lain kecuali kesabaran dan nasehat yang di jalankan sesuai dengan apa yang ditegaskan oleh Rasulullah, di mana beliau bersabda:

“Barangsiapa yang ingin menasehati seorang penguasa, maka janganlah dia tampakkan terang-terangan. Tetapi, ambillah tangan penguasa itu, ajaklah dia berbicara berduaan (sembunyi-sembunyi). Kalau dia mau menerima nesehatmu, itulah yang diharapkan. Kalau tidak, maka sungguh dia telah menunaikan hak penguasa tersebut.” (HR. Ahmad dari ‘Iyadl bin Ghanm dan Hisyam bin Hakim bin Hazim)

Inilah prinsip dan manhaj salaf yang lurus dalam menghadapi penguasa muslimin, yakni dengan lemah lembut dan memposisikan mereka sesuai dengan kedudukan mereka ketika memberikan penjelasan dan nesehat.

Imam Asy-Syaukani menerangkan pula:

“Seyogyanya bagi mereka yang melihat kesalahan seorang pemimpin dalam sebuah perkara, menasehati seorang pemimpin tersebut. Bukan membeberkan kejelekan-kejelekannya di hadapan khalayak ramai.”

Jadi metode dakwah terhadap penguasa muslimin ialah mendengar dan mentaatinya, menempatkannya sesuai dengan kedudukannya dan menasehatinya secara senbunyi-senbunyi dengan lamah lembut sesuai dengan kedudukannya. Sebab, cara yang demikian akan lebih mudah untuk diterimanya nasehat itu dan lebih tepat untuk menyatukan hati manusia (rakyat) terhadap penguasanya. Tidak menyebabkan mereka lari dari penguasanya, apalagi memberontak baik dalam bentuk ucapan (provokasi dan sejenisnya) maupun tindakan (mulai dari demonstrasi sampai kudeta berdarah atau pemberontakan bersenjata).

Berkaitan dengan ini pula, sejumlah imam dakwah ini rahimahumullahu Ta’ala, berbicara ketika muncul sebagian oarang yang menasehati penguasa dengan cara-cara yang justru menyulut api fitnah, kata mereka:

“Adapun apa yang kadang-kadang terjadi dari sebagian penguasa, baik kemaksiatan maupun penyelewengan, yang belum sampai pada tingkat kekafiran atau keluar dari islam, maka yang wajib dalam masalah ini ialah menasehati mereka menurut tuntunan syari’at dengan lemah lembut serta tetap mengikuti apa yang diajarkan oleh shalafus shaleh. Yaitu tidak menjelek-jelekkan mereka di majelis-majelis maupun tempat keramaian.”

Persoalan ini adalah prinsip dasar yang telah ditegaskan oleh ‘ulama Islam di dalam buku-buku mereka. Yakni, buku-buku ‘aqidah, mereka juga telah menjelaskan penertian yang dimaksud dalam buku-buku itu. Berbeda dengan orang-orang yang salah dalam permasalahan ini. Akhirnya jalan yang ditempuhnya menjadi petaka bagi islam dan kaum muslimin, menimbulkan mudharat terhadap dakwah dan para da’inya.

Hadits-hadits sebelumnya yang menerangkan manhaj yang mulia ini dalam menasehati para penguasa, telah diamalkan oleh para sahabat Rasulullah. Mereka paham bahwa ini merupakan salah satu prinsip pokok (ushul) yang tidak mungkin Islam dapat tegak tanpa prinsip ini. Mereka berpendapat bahwa orang keluar dari garis ini, berarti keluar dari dakwah kaum muslimin dan memilih jalan khawarij.

Perhatikan sebagaimana sikap sahabat yang mulia Ibnul ‘Umar, dimana beliau datang kepada ‘Abdullah bin Muthi’ pada masa alhurrah yang diberlakukan oleh Yazid Mu’awiyah. Ibnu Muthi’ berkata: “Berikan bantal kepada Abu ‘Abdirrahman.”

Kata Ibnu ‘Umar: “Saya datang bukan untuk bermajelis denganmu. Saya menemuimu untuk menyampaikan satu hadits yang aku dengar dari Rasulullah, saya mendengar beliau bersabda:

“Barangsiapa yang melapaskan tangannya dari ketaatan (kepada penguasa), niscaya dia bertemu Allah pada hari kiamat tidak mempunyai alasan (hujjah). Dan siapa yang mati dalam keadaan tidak ada di lehernya ikatan bai’at, maka matinya adalah mati jahiliyah.” (HR. Muslim)

Sebetulnya, apapun malapetaka yang menimpa ummat ini, tidak lain karena disia-siakannya prinsip utama ini. Sebagaimana diterangkan oleh Ibnul Qayyim:

“Barang siapa yang memperhatikan fitnah-fitnah yang menimpa kaum muslimin, dia tentu tahu bahwa sebabnya ialah tersia-sianya  prinsip utama ini.”

Bahkan tidak ada satu kelompok yang menyimpang dari jalan yang lurus ini lalu menempuh jalan Yahudi dan al ghayy melainkan jalan yang ditempuhnya itu jauh lebih hebat kerusakannya dibandingkan kerusakan yang ingin mereka lenyapkan.

Bukanlah merupakan jalan kaum salaf, untuk mengikuti dakwah secara rahasia, pembentukan organisasi-organisasi hizbiyah (golongan atau kepartaian), namun akhirnya justru menjadi mesin penghancur berlabel dakwah. Mereka (salaf) terlalu suci dan bersih untuk mengikuti jalan-jalan yang rusak yang ditempuh oleh sebagian gerakan dakwah yang mengupayakan pembentukan organisasi hizbiyah di zaman kita ini.

Bahkan, hati mereka suci dan bersih ketika menghadapi para penguasa dan masyarakat. Mereka selalu berjalan di atas prinsip dasar dan jalan salaf yang mulia dan agung. Mengikuti sunnah Nabi dan atsar salaf yang sangat menginginkan perbaikan dan istiqamah di atas al haq.

( Dikutip dari buku Manhaj Dakwah Salafiyah, Pustaka Al HAURA)