Hukum – Hukum Yang Berkaitan Dengan Haid ( 2 )

Hukum – Hukum Yang Berkaitan Dengan Haid ( 2 )

Beritahu yang lain

Share on twitter
Share on telegram
Share on whatsapp

5. Berdiam di masjid

Haram bagi wanita yang sedang haid untuk berdiam di masjid, mushola, tempat shalat ied. Hal ini berdasarkan hadist Ummu ‘Athiyah bahwa beliau mendengar nabi bersabda :

“ para wanita yang sudah mendekati baligh, gadis – gadis pingitan dan wanita – wanita haid keluar ( ke tempat shalat ied)….dan para wanita yang haid hendaknya dijauhkan dari musholla (Mutattafaq’alaih)

6. Jima (Bersetubuh)

Haram bagi suami untuk menyetubuhi istrinya yang sedang haid dan haram istrinya mempersilahkan suaminya untuk menyetubuhinya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala :

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ ۖ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ ۖ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ

“dan mereka bertanya kepadamu  tentang darah haid, katakan : Dia adalah sesuatu yang kotor, maka jauhilah wanita di saat haid. Dan jangan kalian dekati hingga mereka suci “ (Al Baqarah : 222)

Al Imam An Nawawi berkata dalam Al Majmu Syahrul Muhadzab (2 /374) : Al Imam Asy Syafi’i mengatakan : “ barang siapa melakukan perbuatan tersebut dia telah berbuat dosa besar “

Dan telah di halalkan bagi sang suami, hal yang bisa memutuskan syahwatnya dengan perbuatan – perbuatan selain jima’ seperti mencium, memeluk, dan bersentuhan selain pada farj (kemaluan). Hal ini berdasarkan ucapan ‘Aisyah :

“ nabi menyuruhku untuk memakai sarung kemudian beliau melakukan mubasyarah (bermesraan) denganku padahal aku dalam keadaan haid”

7. Talaq

Haram bagi suami mentalaq istrinya yang sedang mengalami haid, berdasarkan firman Allah Ta’ala :

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ

“hai nabi apabila kamu menceraikan istri – istrimu maka hendaknya kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) (Ath thalaq:1)

Yaitu pada kondisi para wanita akan menghadapi massa ‘iddahnya yang jelas ketika mereka di talaq. Seorang yang di talaq pada saat haid dia tidak menghadapi ‘iddah karena waktu haid yang padanya dia di talaq tidak masuk dalam hitungan masa ‘iddah.

Demikian juga jika dia di talaq dalam masa suci tetapi setelah digauli oleh suaminya, tidak ada padanya ‘iddah yang jelas, karena dia tidak tahu apakah dia mengalami hamil dengan sebab persetubuhan tersebut sehingga di hitung ‘iddahnya dengan status hamil ataukah dia belum hamil sehingga ‘iddahnya di hitung berdasarkan haid.

Jika seorang suami mentalaq istrinya yang sedang haid maka dia berdosa, dan wajib baginya untuk bertaubat kepada Allah Ta’ala kemudian mengembalikan istrinya kepada perlindunganya. Setelah itu menunggu sampai dia suci dari haid yang ketika itu dia talaq istrinya kemudian sampai istinya mengalami haid lagi. Dan setelah suci dari haidnya tersebut, jika sang suami mengehendaki maka teruskan berumah tangga dengannya, jika tidak maka dia mentalaqnya sebelum menggaulinya.

Dikecualikan dari keharaman mentalaq istri yang sedang haid pada tiga keadaan :

a. jika talaq tersebut terjadi sebelum sang suami berkhalwat dengan istrinya atau menggaulinya, maka tidak mengapa mentalaqnya walaupun istrinya dalam keadaan haid, karena pada keadaan seperti itu tidak ada iddahnya bagi wanita tersebut. dengan demikian talaq tersebut tidak menyelisihi firman Allah Ta’ala :

فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ ۖ

“..maka hendaknya kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) ‘iddahnya (yang wajar) “ (At Thalaq : 1)

b. jika haid tersebut terjadi dalam keadaan sedang hamil dan telah berlalu penjelesan tentang hal ini.

c. jika talaq tersebut sebagai ‘iwadh (ganti) maka tidak mengapa seorang suami mentalaqnya walaupun istrinya sedang haid.

Misal terjadi perselisihan antara suami dan istri serta jeleknya hubungan suami dan istri tersebut, maka suami mengambil iwadh dalam rangka mentalaqnya. Hal ini boleh dilakukan walaupun istri sedang haid. Dalilnya hadist Ibnu Abbas :

“bahwa istri tsabit bin Qais bin Syimas mendatangi Nabi dan berkata kepada beliau : “wahai Rasulullah, sesungguhnya aku tidak mencela akhlak dan agama suamiku, akan tetapi aku khawatir terjatuh ke dalam kekufuran sesudah aku dalam berislam. Nabi bersabda : apakah engaku mau mengembalikan kebunnya? Dia menjawab “Ya” . Maka Rasulullah bersabda (kepada suamiku) : “terimalah kebun tersebut dan talaqlah dia”.”(HR.Al Bukhari)

Ibnu Qumadah berkata di dalam Al Mughni ( 7/52) menjelaskan sebab bolehnya khulu di saat wanita sedang haid  :

“ karena melarang talaq di saat haid akibat kejelekan yang menimpa istri karena panjangnya masa iddah dan khulu ini untuk menghilangkan kejelekan yang di dapati istri karena jeleknya hubungan suami. Sedangkan melangsungkan rumah tangga bersama orang yang di benci, lebih berat daripada kejelekan panjang massa iddah. Dengan dasar itu maka boleh mencegah kejelekan yang lebih besar dengan resiko terjadi kejelekan yang lebih rendah. Oleh karena itu Nabi tidak bertanya kepada wanita yang meminta khulu’ tersebut tentang keadaan dirinya (haid atau suci)”

Adapun melangsungkan akad nikah pada saat wanita sedang haid maka tidak mengapa.

8. Perhitungan ‘iddah Talaq

‘iddah wanita yang di talaq diperhitungkan dengan haid. Jika seorang suami mentalaq istrinya setelah menggaulinya atau berkhalwat dengannya, wajib bagi wanita tersebut untuk melakukan ‘iddah dengan tiga kali haid secara sempurna. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala :

وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ

“ wanita – wanita yang di talaq hendaklah menahan diri ( menunggu ) tiga kali quru’ (yakni tiga kali haid) (Al Baqarah : 228)

Jika wanita tersebut hamil maka massa iddahnya sampai dia melahirkan. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala :

وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَن يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ

“dan perempuan – perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandunganya (At Thalaq : 4)

Sedangkan jika wanita tersebut mengalami hal yang lain maka massa iddahnya adalah tiga bulan hal berdasarkan firman Allah Ta’ala :

وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِن نِّسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ ۚ

“ dan perempuan – perempuan yang tidak haid lagi (menopause) di antara perempuan  – perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang massa iddahnya) maka iddah mereka adalah tiga bulan , dan begitu pula perempuan-perempuan yang tidak haid “ (At Thalaq:4)

Jika dia termasuk dari wanita yang mengalami haid akan tetapi haidnya karena sakit atau menyusui maka di terus dalam massa iddahnya walaupun panjang massa sampai dia mengalami haid kembali dan mulailah di perhitungkan dengan haid.

Sedangkan jika sebab tidak haidnya telah hilang (seperti sembuh dari penyakitnya atau tidak menyusui lagi ) akan tetapi dia tidak mengalami haid lagi. Massa iddahnya di hitung setahun penuh mulai dari hilangnya sebab haid tersebut.

Adapun jika talaq terjadi setelah sesudah akad dan sebelum terjadi hubungan (jima’) atau khalwat, maka secara mutlak tidak ada masa ‘iddahnya bagi wanita tersebut, maka tidak dengan haid tidak pula dengan perhitungan lainya . hal ini berdasarkan friman Allah Ta’ala :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِن قَبْلِ أَن تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا ۖ

“Hai orang – orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan – perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali –  kali tidak wajib ats mereka, iddhah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya (Al Ahzab : 49)

9. Hukum Akan kebersihan rahimnya

Yang dimaksud adalah kosongnya rahim tersebut dari janin. Ada beberapa masalah terkait dengan hal ini, diantaranya :

Jika seorang suami wafat meninggalkan istrinya yang sedang hamil, maka janinnya (sesudah lahir) mendapatkan warisan. Jika sudah jelas bahwa wanita tersebut hamil sebelum menikah dengan suami yang baru, maka kita hukumi dengan adanya warisan bagi janin tersebut. jika istri mengalami haid sesudah suaminya wafat, maka tidak ada warisan, dikarenakan bersihnya rahim wanita tersebut dengan terjadinya haid tadi.

10. Kewajiban mandi

Wajib bagi wanita yang selesai dari haid untuk mandi dengan membersihkan seluruh badannya, berdasarkan sabda Rasulullah kepada Fatimah Bintu Abi Huabisy :

“jika telah tiba massa haidmu maka tinggalkan shalat dan bila sudah selesai masa haidmu maka mandilah kemudian sholatlah” (HR. Al Bukhari )

Dalam mandi haid minimal yang wajib dilakukan oleh seorang wanita adalah membasahi sekujur tubuhnya sampai ke kulit kepala rambutnya. Adapun tatacara mandi sebagaimana yang nabi terangkan kepada Asma bintu Syakal, yang ketika itu dia bertanya tatacara mandi haid :

“ Hendaknya salah seorang dari kalian ( para wanita) mengambil air dan daun bidara kemudian bersuci (wudhu) dengannya dan hendaknya dia membaguskan bersucinya, kemudian tuangkan air ke kepalanya dan gosok-gosoklah dengan kuat hingga sampai ke kulit kepalanya. Kemudian tuangkan air ke sekujur tubuhnya kemudian ambillah secarik kain putih yang telah di basahi dengan minyak misik kemudian bersihkan dengan kain tersebut” Asma bertanya : bagaimana cara di membersihkannya? Rasulullah menjawab : “Subhanallah!!! Aisyah berkata : Engkau ikuti bekas bekas darah haidmu dengan kain tersebut ! (HR. Muslim)

Tidak diwajibkan melepaskan ikatan rambutnya. Kecuali jika ikatannya demikian kuat sehingga di khawatirkan air tersebut tidak sampai ke akar rambutnya.

Jika seorang wanita telah suci di tengah waktu shalat, maka wajib baginya untuk bersegera mandi agar bisa menunaikan shalat pada waktunya. Jika dia dalam keadaan safar dan tidak memiliki air atau ada air tapi termudharatkan bila menggunakan atau sedang sakit. Maka, bertayamum sebagai pengganti mandi sampai hilang penghalang – penghalang tersebut kemudian dia mandi haid.

( diambil dari buku Problema Darah Wanita, Ash Shaf Media)