Dakwah Kepada As Sunnah dan Tahdziir dari Bid’ah (bag.3)

Dakwah Kepada As Sunnah dan Tahdziir dari Bid’ah (bag.3)

Beritahu yang lain

Share on twitter
Share on telegram
Share on whatsapp

Jelaslah bagi kita manhaj salaful ummah dalam ilmu dan amal serta dakwah, yaitu senantiasa berpegang teguh kepada As Sunnah, mengikuti jalannya dan mengajak menusia kepadanya serta mentahdziir agar menjauhi orang-orang yang menyelisihinya.

Apabila ummat ini keluar dari perkara ini dan para da’i menyia-nyiakannya niscaya akan lemah urusan mereka, sikap mereka akan labil dan persatuan mereka akan runtuh. Akhirnya mereka akan terjerumus dalam kebid’ahan, berbagai perkara baru yang diada-adakan dan kebinasaan. Semua ini akan menyulitkan kehidupan mereka di dunia, sedangkan di akhirat akan menjauhkan mereka dari Allah.

Hal ini diperjelas oleh ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz, ketika mengatakan:

“Rasulullah telah menetapkan satu sunnah. Begitu juga dengan para penguasa sesudah beliau. Menjalankannya berarti pembenaran terhadap kitab Allah (Al-Quran), kesempurnaan bagi taat kepada Allah dan kekuatan agama Allah. Tidak ada seorang pun yang berhak merubah dan menggantinya, apalagi menoleh kepada perkara lain yang menyelisihinya. Barang siapa yang mengambil petunjuk dengan sunnah tersebut maka dia terbimbing. Siapa yang mengharapkan pertolongan dengan sunnah itu maka dia akan ditolong. Dan siapa yang menyelisihinya serta mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang beriman, niscaya Allah palingkan dia kepada kesesatan yang dipilihnya serta memasukkannya ke dalam jahannam, padahal dia seburuk-buruk tempat kembali.” (Asy Syari’ah 1/48).

Setelah kita memahami hakekat yang mulia ini, maka tidak pantas bagi seorang muslim yang beriman kepada Allah dan hari kemudian (akhirat) untuk meyakini bahwa jumlah mayoritas adalah standar nilai bahwa sesuatu itu adalah haq (kebenaran). Dan tidak selayaknya orang yang berakal tertipu dengan semua tindakan orang banyak dan awwam di seluruh penjuru wilayah muslimin.

Sesungguhnya al haq tidaklah dikenal kerana banyaknya jumlah pelaku atau yang mengikutinya. Tetapi al haq di kenal melalui dalil-dalil syari’at dari ayat-ayat Al Quran dan Sunnah Nabawiyah. Allah berfirman:

وَإِن تُطِعْ أَكْثَرَ مَن فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَن سَبِيلِ اللَّهِ

“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah.” (Al An’am: 116)

Hal itu karena tidak ada satu masalahpun melainkan di dalam Islam terdapat ketentuan hukumnya. Dan penyelesaian secara syar’i harus menjadi rujukan dan acuan.

Adapun hadits-hadits yang melarang perpecahan yang telah dijelaskan oleh Rasulullah yang tegas-tegas menyatakan bahwa golongan-golongan itu sampai menjadi tujuh puluh tiga golongan, seluruhnya masuk neraka kecuali satu, sungguh merupakan dalil paling tepat dan jelas bertentangan dengan tindakan mereka yang lebih serius memperhatikan upaya tajmi’ul ummah (memperbanyak anggota jama’ah) dengan prinsip yang tidak ditegakkan di atas landasan ‘aqidah yang kokoh dan sunnah nabawiyah.

Orang-orang seperti itu cita-cita dan tujuan mereka hanyalah memperbanyak jumlah pengikut yang tidak berdiri di atas asas dan manhaj yang satu. Manhaj seperti itu, meskipun kelihatannya bersatu, namun sesungguhnya tidak lain merupakan jalan atau manhaj yang berbeda dan bercerai berai. Sebab manhaj yang berbeda, syi’ar dan bermacam-macam ra’yu yang ada, jika tidak ditegakkan di atas asas ‘aqidah dan sunnah nabawiyah, niscaya akan berujung pada perpecahan dan perselisihan.

Sedangkan jalan yang satu, sunnah yang satu, mengikutinya adalah petunjuk, menyelisihinya adalah kesesatan.

Karena alasan inilah, pensyarah kitab Ath Thahawiyah (Ibnu Abil ‘Izz) menerangkan:

“As Sunnah ialah jalan prinsip Rasulullah. Al jama’ah yang dimaksud adalah Jama’ah kaum muslimin, yaitu para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik sampai hari pembalasan (kiamat). Mengikuti jalan mereka adalah huda (petunjuk) dan menyelisihi mereka adalah kesesatan.”

Maka keselamatan dan keberhasilan tergantung kepada (seberapa jauh) seseorang mengikuti hadits dan sunnah. Sebagaimana diterangkan pula oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah:

Dengan alasan ini, jelaslah bahwa orang yang paling berhak dikatakan sebagai (bagian) dari Al Firqatun Najiyah adalah ahlul hadits dan sunnah.

Benarnya suatu manhaj, berkaitan langsung dengan ittiba’ kepada As Sunnah dan atsar. Siapapun yang menyempal (keluar) dari prinsip ini, berarti dia adalah bagian dari orang-orang yang berpecah belah dan bercerai berai.

Dengan demikian, apabila ummat ini berjalan di atas ketentuan sunnah, meninggalkan jalan ahli bid’ah, niscaya mereka selamat dari kemunduran dan perpecahan. Tentang hal ini, Syaikh Shaleh Al Fauzan mengatakan:

“Adapun banyaknya jumlah jama’ah yang ada, begitu juga manhaj yang beraneka ragam, semua ini adalah penyebab kemunduran dan berpecahnya kaum muslimin. Padahal Allah berfirman:

وَلَا تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ ۖ وَاصْبِرُوا ۚ

“Dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu.” (Al Anfaal: 46)

Kita menginginkan satu jama’ah yang tegak di atas manhaj dan dakwah yang lurus. Sehingga walaupun terpisah-pisah di berbagai negara, namun rujukan mereka satu. Masing-masing saling mengoreksi dan membantu satu sama lain.

 ( Dikutip dari buku Manhaj Dakwah Salafiyah, Pustaka Al HAURA)