Sahur dan yang berkaitan dengannya

Sahur dan yang berkaitan dengannya

Beritahu yang lain

Share on twitter
Share on telegram
Share on whatsapp

1. Awal Mula Disyari’atkannya Makan Sahur

Al-Imam Al-Bukhari memberikan bab tersendiri dalam kitab Shahihnya :

“Bab Firman Allah ta’ala :

أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَائِكُمْ ۚ هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَأَنتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ ۗ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنتُمْ تَخْتَانُونَ أَنفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنكُمْ ۖ فَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ ۚ

Artinya :

“Dihalalkan bagi kalian berjima’dengan istri-istri kalian di malam hari bulan shaum (Ramadhan). Mereka adalah pakaian bagi kalian dan kalian adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwa sebelumnya tidak bisa menahan nafsu, karena itu Allah mengampuni dan memaafkan kalian. Maka sekarang gauilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu.” [Al-Baqarah : 187]

Al-Hafizh Ibnu Hajar menerangkan maksud dari bab tersebut, yaitu dalam rangka menjelaskan keadaan kaum muslimin (para shahabat) pada saat nuzul (turun)nya ayat di atas. Bahwa dari sebab nuzul ayat ini diketahui tentang permulaan disyari’atkannya sahur. Al-Imam Al-Bukhari menjadikan bab ini sebagai bab permulaan untuk bab-bab berikutnya yang menjelaskan tentang berbagai hukum yang berkaitan dengan makan sahur. ([1](

Kemudian Al-Imam Al-Bukhari menyebutkan hadits Al-Barra‘ bin ‘Azib radhiallahu ‘anhu, bahwa beliau berkata :

“Dahulu para shahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam jika salah seorang di antara mereka bershaum kemudian tertidur sebelum sempat berbuka maka dia tidak boleh makan dan minum pada malam tersebut dan siang hari berikutnya hingga datang waktu berbuka lagi. Ketika suatu hari seorang shahabat (bernama) Qois bin Shirmah Al-Anshari bershaum, tatkala tiba waktu berbuka, dia datang kepada istrinya seraya berkata : “Apakah kamu punya makanan?” Istrinya menjawab : “Tidak, tapi akan kucarikan untukmu.”. Padahal dia (Qais) telah bekerja keras sepanjang siang, sehingga (sambil menunggu istrinya datang) akhirnya ia tertidur lelap. Kemudian sang istri datang. Ketika ia melihat sang suami tertidur ia pun berkata : “Sungguh telah rugi engkau!”

Akhirnya pada pertengahan siang berikutnya Qais pun jatuh pingsan. Kemudian peristiwa ini dikabarkan kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam. Lalu turunlah ayat :

Artinya :

“Dihalalkan bagi kalian berjima’dengan istri-istri kalian di malam hari bulan shaum (Ramadhan)”

Maka para shahabat pun sangat berbahagia dengan turunnya ayat tersebut. Lalu turun juga ayat berikutnya :

Artinya;” Dan makan serta minumlah sampai jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam yaitu fajar.” ([2])

Dari hadits ini terdapat keterangan tentang kondisi permulaan ketika diwajibkannya shiyam, yaitu apabila ada diantara mereka yang tertidur sebelum ifthar maka tidak boleh baginya makan dan minum sepanjang malam tersebut sampai datang waktu ifthar di hari berikutnya. Demikian pula cara shaum Ahlul Kitab, sebagaimana dijelaskan dalam sebuah atsar yang diriwayatkan dari As-Suddi v dan selainnya dari kalangan ahli tafsir, dengan lafazh :

“Telah diwajibkan kepada kaum Nashara bershaum, dan bahwa tidak boleh bagi mereka untuk makan, minum, dan senggama setelah tertidur. Diwajibkan atas kaum muslimin pada mulanya seperti itu, sampai terjadi peristiwa yang menimpa seorang pria dari Anshar.”

Kemudian beliau menyebutkan kisahnya.

disebutkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar melalui jalur riwayat Ibrahim At-Taimi dengan lafazh :

Artinya :

“Kaum Muslimin pada permulaan Islam melakukan shaum seperti cara yang dilakukan oleh Ahlul Kitab, yaitu apabila seorang di antara mereka tertidur (sebelum berbuka) maka tidak boleh makan hingga tiba (waktu berbuka) keesokan harinya.”

Hal ini dikuatkan oleh hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim dari shahabat ‘Amr bin Al-‘Ash secara marfu‘ :

Artinya :

“Pembeda antara shaumnya kita dengan shaum Ahlul Kitab adalah makan sahur.” [3]); [4])

Para shahabat sangat bergembira dengan turunnya ayat 187 surat Al-Baqarah tersebut. Mereka paham dari kandungan ayat tersebut bahwa apabila jima‘ ( óÇáÑøóÝóËõ ) dihalalkan berarti makan dan minum tentunya lebih dihalalkan.

Kemudian turun lanjutan ayat berikutnya : yang secara nash (konteks zhahir) dari ayat ini semakin menegaskan dihalalkannya makan dan minum pada malam hari Ramadhan. Ini semua adalah dari rahmat Allah subhanahu wata’ala kepada hamba-Nya.

[1] Fathul Baari Bab Firman Allah subhanahu wa ta’ala :

[2]. Al-Bukhari hadits no. 1915.

[3]. Muslim hadits no. 46 – [1096]

[4]. Fathul Bari syarh hadits no. 1915.

(URL sumber http://www.assalafy.org/mahad/?p=243 , judul asli Awal Mula Disyari’atkannya Makan Sahur)

2. Batas Akhir Makan Sahur dan Waktu Mulai Bershaum, Bid’ahnya Imsyak

Allah subhanahu wata’ala berfirman :

( æóßõáõæÇ æóÇÔúÑóÈõæÇ ÍóÊøóì íóÊóÈóíøóäó áóßõãõ ÇáúÎóíúØõ ÇáúÃóÈúíóÖõ ãöäó ÇáúÎóíúØö ÇáúÃóÓúæóÏö ãöäó ÇáúÝóÌúÑö ) ÇáÈÞÑÉ: ١٨٧

“Makan dan minumlah kalian sampai jelas bagi kalian benang putih dari benang hitamg, yaitu waktu fajar.” [Al-Baqarah : 187]

Al-Imam Al-Bukhari membawakan bab khusus untuk ayat ini (( æóßÜõáÜõæÇ æóÇÔúÑóÈõæÇ …)) dalam rangka menerangkan batas akhir dibolehkannya makan sahur dan dimulainya ash-shaum. Kemudian beliau menyebutkan hadits Adi bin Hatim radhiallahu ‘anhu, beliau berkata :

áóãøóÇ äóÒóáóÊú ( æóßõáõæÇ æóÇÔúÑóÈõæÇ ÍóÊøóì íóÊóÈóíøóäó áóßõãõ ÇáúÎóíúØõ ÇáúÃóÈúíóÖõ ãöäó ÇáúÎóíúØö ÇáúÃóÓúæóÏö ) ÚóãóÏúÊõ Åáóì ÚöÞóÇáò ÃóÓúæóÏó æóÅáóì ÚöÞóÇáò ÃÈúíóÖó ÝóÌóÚóáúÊõåóÇ ÊóÍúÊó æöÓóÇÏóÊöí ÝóÌóÚóáúÊõ ÃóäúÙõÑõ Ýöí Çááøóíúáó ÝóáÇó íóÓúÊóÈöíúäó áöí ÝóÛóÏóæúÊõ Úóáóì ÑóÓõæáö Çááåö r ÝóÐóßóÑúÊõ áóåõ¡ ÝóÞóÇáó : (( ÅäøóãóÇ Ðáößó ÓóæóÇÏõ Çááøóíúáö æóÈóíóÇÖõ ÇáäøóåóÇÑö )).

Artinya :

“Ketika turunnya ayat (æóßõáõæÇ æóÇÔúÑóÈõæÇ ÍóÊøóì íóÊóÈóíøóäó áóßõãõ ÇúáÎóíúØõ ÇúáÃóÈúíóÖõ ãöäó ÇúáÎóíúØö ÇúáÃóÓúæóÏö) saya mencari tali hitam dan tali putih, saya letakkan di bawah bantal, kemudian saya mengamatinya di malam hari dan tidak nampak. Keesokan harinya saya menghadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan saya ceritakan kepadanya, kemudian beliau berkata : Yang dimaksud dengannya adalah gelapnya malam dan terangnya siang.” )[1](

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menafsirkan maksud ‘benang putih’ dan ‘benang hitam’ dengan kegelapan malam dan cahaya siang, tidak seperti yang disangka oleh Adi bin Hatim dan beberapa shahabat lainya. Hal ini terjadi karena nuzul (turunnya) ayat ( ãöäó ÇúáÝóÌúÑö) tidak bersamaan dengan ayat ((æóßõáõæÇ æóÇÔúÑóÈõæÇ melainkan turun sesudahnya. Hal ini sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim dari shahabat Sahl bin Sa’d radhiallahu ‘anhu:

ÃõäúÒöáóÊú ( æóßõáõæÇ æóÇÔúÑóÈõæÇ ÍóÊøóì íóÊóÈóíøóäó áóßõãõ ÇáúÎóíúØõ ÇáúÃóÈúíóÖõ ãöäó ÇáúÎóíúØö ÇáúÃóÓúæóÏö ) ¡ æóáóãú íóäúÒöáú (( ãöäó ÇúáÝóÌúÑö))¡ ÝóßóÇäó ÑöÌóÇáñ ÅÐÇ ÃÑóÇÏõæÇ ÇáÕøóæúãó ÑóÈóØó ÃóÍóÏõåõãú Ýöí ÑöÌúáöåö ÇúáÎóíúØó ÇúáÃÈúíóÖó æóÇáÎóíúØó ÇáÃÓúæóÏó¡ æóáóãú íóÒóáú íóÃßõáõ ÍóÊøóì íóÊóÈóíøóäó áåõ ÑõÄúíóÜÊõåõãóÇ¡ ÝóÃóäúÒóáó Çááåõ ÈóÚúÏõ (ãöäó ÇáúÝóÌúÑö ) ¡ ÝóÚóáöãõæÇ Ãäøóåõ ÅäøóãóÇ íóÚúäöí Çááíúáó æó ÇáäÜøóåóÇÑó.

Artinya :

“Ketika turun ayat ((æóßõáõæÇ æóÇÔúÑóÈõæÇ ÍóÊøóì íóÊóÈóíøóäó áóßõãõ ÇúáÎóíúØõ ÇúáÃóÈúíóÖõ ãöäó ÇúáÎóíúØö ÇúáÃóÓúæóÏö ..)) dan belum turun potongan ayat selanjutnya ((ãöäó ÇúáÝÜóÌúÑö)), dahulu para shahabat jika ingin bershaum maka salah seorang diantara mereka mengikatkan benang putih dan benang hitam di kakinya dan melanjutkan makan sampai jelas perbedaan antara keduanya, kemudian Allah subhanu wata’ala menurunkan ((ãöäó ÇúáÝÜóÌúÑö)) sehingga mereka faham bahwa yang dimaksud dengannya adalah cahaya siang dan kegelapan malam.”([2])

Atas dasar ini jelaslah permulaan waktu shaum, yaitu dimulai sejak munculnya fajar yang kedua atau fajar shadiq. Karena fajar itu ada dua macam :

1. Fajar kadzib, yaitu fajar yang cahayanya naik (vertikal) seperti ekor serigala. Dengan fajar ini belum masuk waktu shalat Subuh, dan masih diperbolehkan makan dan minum. Sebagaimana diterangkan dalam hadits Jabir bin ‘Abdillah dan Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhum bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam berkata :

ÇóáúÝóÌúÑõ ÝóÌúÑóÇäö : ÝóÃóãøóÇ ÇúáÝóÌúÑõ ÇáøóÐöí íóßõæäõ ßóÐóäóÈö ÇáÓøóÑúÍóÇäö ÝóáÇó ÊóÍöáøõ ÇáÕøóáÇóÉõ Ýöíúåö æöáÇó íõÍúÑóãõ ÇáÜøóØÚóÇãõ¡ æóÃóãøóÇ ÇøóáÐöí íóÐúåóÈõ ãõÓúÊóØöíúáÇð Ýöí ÇúáÃõÝõÞö ÝóÅäøóåõ ÊõÍöáøõ ÇáÕøóáÇóÉõ æó íõÍúÑóãõ ÇáÜøóØÚóÇãõ ( ÑæÇå ÇáÍÇßã )

Artinya :

“Fajar ada dua macam (pertama), fajar yang bentuknya seperti ekor serigala maka belum dibolehkan dengannya shalat (subuh) dan masih dibolehkan makan. Dan (kedua) fajar yang membentang di ufuk timur adalah fajar yang dibolehkan di dalamnya shalat (subuh) dan diharamkan makan (sahur).” HR. Al-Hakim ([3])

2. Fajar shadiq, yaitu fajar yang cahayanya memanjang ( mendatar ). Sebagaimana terdapat dalam hadits Samuroh bin Jundub dan selainnya yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim secara marfu‘ dengan lafadz :

áÇó íóÛõÑøóäßãú ÃÍóÏóßãú äöÏóÇÁõ ÈöáÇóáò ãöäó ÇáÓøóÍõæúÑö æóáÇó åÐÇ ÇáÈóíóÇÖõ ÍóÊøóì íóÓúÊØöíúÑó.

æÝí ÑæÇíÉ : åõæó ÇáãõÚúÊÜóÑöÖõ æóáíúÓó ÈÇáãõÓúÊóØöíáö

Artinya :

“Janganlah adzannya Bilal mencegah kalian dari sahur dan tidak pula cahaya putih ini sampai mendatar (horisontal). Dalam riwayat yang lain : yaitu cahaya yang mendatar bukan yang menjulang ke atas.”( [4])

Oleh karena itu seharusnya bagi kaum muslimin untuk menghidupkan sunah Rasullah shalallahu ‘alaihi wasallam berupa mengangkat dua orang muadzin, dan adzan subuh dua kali, untuk membantu ketika hendak melakukan ibadah ash-shaum dan shalat serta yang berkaitan dengan keduanya. Demikianlah sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam sebagaimana terdapat dalam hadits Ibnu ‘Umar radhiAllahu ‘anhuma diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim, beliau mengatakan :

ÓóãöÚúÊõ ÑóÓõæáó Çááåö r íóÞæáõ : (( Åäøó ÈáÇóáÇð íõÄóÐøöäõ Èöáóíúáò¡ ÝóßáõæÇ æóÇÔúÑóÈõæÇ ÍóÊøóì ÊóÓúãóÚõæÇ ÃÐóÇäó ÇÈúäö Ããøö ãóßúÊæãò ))

artinya :

“Saya mendengar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata : Sesungguhnya Bilal mengumandangkan adzan di malam hari, maka makan dan minumlah sampai mendengar adzannya Ibnu Ummi Maktum.” ([5])

Al-Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari jalur periwayatan Aisyah radhiallahu ‘anha dengan lafazh :

ßõáõæÇ æóÇÔúÑóÈõæÇ ÍóÊøóì íõÄóÐäó ÇöÈúäõ Ããøö ãóßÊõæãò ÝóÅäøóåõ áÇóíõÄóÐøöäõ ÍóÊøóì íóØúáõÚó ÇáÝóÌúÑõ

Artinya :

“Makan dan minumlah sampai Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan karena dia tidak mengumandangkannya kecuali jika telah terbit fajar.”( [6])
Bid’ahnya Imsak

Atas dasar ini maka kebiasaan menahan makan dan minum sebelum terbitnya fajar kedua, yang dikenal dengan waktu imsak, adalah bid’ah yang munkar yang harus ditinggalkan dan diingkari oleh kaum muslimin.

Imsak sudah diingkari oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar seorang ‘ulama besar dari kalangan Syafi’iyyah. Beliau mengatakan :

“Termasuk dalam bid’ah yang munkar adalah apa yang telah terjadi pada masa ini (masanya Al-Hafizh Ibnu Hajar-pen) berupa mengumandangkan adzan subuh dan mematikan lampu dua puluh menit sebelum fajar kedua pada bulan Romadhon yang dijadikan sebagai tanda berhentnya makan dan minum bagi orang yang akan shaum dalam rangka ihtiyath (kehati-hatian) dalam beribadah. Kebid’ahan ini tidaklah diketahui kecuali oleh segelintir orang dari kalangan kaum muslimin. Bahkan mereka tidak mengumandangkan adzan mahgrib kecuali setelah terbenamnya matahari dengan derajat tertentu untuk memantapkan waktu ifthor (berbuka). Sehingga dengan kebiasaan mengakhirkan ifthor dan menyegerakan sahur ini, mereka telah menyelisihi sunnah, yang berakibat sedikitnya kebaikan dan banyaknya kejelekan pada ummat ini.” ([7])

[1]. Al-Bukhari hadist no. 1917

[2] Al-Bukhari (hadits no. 1917, Muslim (hadits no. 35-1901

[3] Mustadrok Al-Hakim no. 691.

Asy-Syaikh Muqbil tidak mengomentarri kedua riwayat ini dalam kitab beliau Tatabbu’ Awhamil Hakim, sedangkanAsy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah mengatakan : “Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah (3/210), Al-Hakim (1/191, 395), Ad-Daruquthni (2/125), dan Baihaqi (4/261) dari jalan Sufyan dari Ibnu Juraij dari ‘Atha’ dari Ibnu Abbas … Ibnu Khuzaimah berkata tidak ada yang memarfu‘kan hadits ini di dunia selain Abu Ahmad Az-Zubairi. Al-Hakim berkata sanadnya shahih dan disetujui oleh Adz-Dzahabi. Al-Baiahaqi menganggap hadits ini memiliki penyakit karena selain Abu Az-Zubair meriwayatkan dari Sufyan Ats-Tsauri secara maukuf dan dia berkata yng lebih tepat adalah mauquf . Saya (Al-Albani -peny) berkata Abu Ahmad Az-Zubairi -namanya adalah Muhammad bin Abdillah Az-Zubair – keadaannya adalah tsiqoh akan tetapi mereka (Ahlul Hadits- peny) menyatakan bahwa riwayatnya dari Ats-Tsauri ada kesalahan akan tetapi hadits ini memiliki syawahid yang banyak yang menunjukkan keshohihannya, diantaranya dari Jabir yang dikeluarkan Al-Hakim (1/191), Baihaqi (4/215), dan Al-Hakim menshohihkannya yang disepakati oleh Adz-Dzahabi … .

[4] Muslim (hadits no. 1093

[5] Muslim (hadits no. 37-1092.

[6] Al-Bukhari Kitabush Shaum bab 17 hadits no. 1918, 1919

[7] Fathul Baari jilid 4 hal. 199 hadist no. 1957

(URL Sumber http://www.assalafy.org/mahad/?p=244, judul asli Batas Akhir Makan Sahur dan Waktu Mulai Bershaum)

3. Mengakhirkan Sahur dan Jarak Waktu antara Sahur dengan Shalat
Termasuk dalam sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mengakhirkan sahur, berdasarkan hadits-hadits yang diriwayatkan dari beliau. Hal ini sangat berbeda dengan kebiasaan kebanyakan kaum muslimin yang mendahulukan waktu sahur jauh dari fajar shadiq. Hal ini bertentangan dengan hadits-hadits yang shahih, di antaranya riwayat yang dibawakan oleh Al-Imam Al-Bukhari dari shahabat Sahl bin Sa’d radhiallahu ‘anha berkata:

ßõäúÊõ ÃóÊóÓóÍøóÑõ Ýöí Ãóåúáöí Ëõãøó Êóßõæäó ÓõÑúÚóÊöí Ãäú ÃÏúÑößó ÇáÓøõÌõæÏó ãóÚó ÑóÓõæáö Çááåö r

Artinya :

“Saya pernah makan sahur bersama keluarga saya, kemudian saya bersegera untuk mendapatkan sujud bersama Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam .”([1])

Zaid bin Tsabit radhiallahu ‘anha berkata :

ÊóÓóÍøóÑúäóÇ ãóÚó ÇáäøóÈöí r Ëõãøó ÞóÇãó Åáì ÇáÕøóáÇÉö.

ÞõáúÊõ : ßãú ßÇäó Èóíúäó ÇáÃÐÇäö æóÇáÓøóÍõæÑö ÞÇá ÞóÏúÑó ÎóãúÓöíúäó ÂíóÜÜÉ

“Kami makan sahur bersama Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam kemudian beliau berdiri untuk shalat shubuh.

Saya (Anas bin Malik) bertanya kepadanya : berapa jarak antara adzan dengan sahur ? Zaid bin Tsabit radhiallahu ‘anha menjawab : kurang lebih selama bacaan lima puluh ayat.”([2])

Waktu Terakhir untuk Makan Sahur

Waktu terakhir untuk makan sahur telah ditentukan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah yaitu dengan terbit dan jelasnya fajar shadiq, sebagaimana firman Allah I :

)æóßáõæÇ æóÇÔúÑóÈõæÇ ÍóÊøóì íóÊóÈóíøóäó áóßãõ ÇáÎóíúØõ ÇáÃÈúíóÖõ ãöäó ÇáÎóíúØö ÇáÃÓúæóÏö ãöäó ÇáÝÜóÌúÑö(

Artinya :

“Silakan kalian makan dan minum sampai nampak dengan jelas cahaya fajar.” Q.S. Al-Baqarah : 187

Sebagaimana pula dalam hadits ‘Aisyah radhiyAllahu ‘anha, berkata :

Åäøó ÈáÇóáÇó ßóÇäó íõÄóÐäõ Èöáóíúáò ÝóÞóÇáó ÑóÓõæáõ Çááåö rßõáõæÇ æóÇÔúÑóÈõæÇ ÍóÊøóì íõÄóÐäó ÇöÈúäõ Ããøö ãóßÊõæãò ÝóÅäøóåõ áÇ íõÄóÐäõ ÍóÊøóì íóØáõÚó ÇáÝóÌúÑõ )ÑæÇå ÇáÈÎÇÑí(

Aartinya :

“Sesungguhnya Bilal beradzan pada waktu malam hari, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda : ‘Silakan kalian makan dan minum sampai Ibnu Ummi Maktum beradzan, sesungghnya dia tidak beradzan kecuali setelah terbit fajar.” ( [3])

Sebagian ‘ulama membolehkan makan dan minum walaupun sudah terdengar adzan apabila makanan masih ada di tangannya, berdalil dengan hadits Abu Hurairah, bahwasannya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berkata :

ÅöÐóÇ ÓóãöÚó ÃÍóÏõßãõ ÇáäøöÏóÇÁó æóÇáÅäóÇÁõ Úóáóì íóÏöåö ÝóáÇó íóÖóÚúåõ ÍóÊøóì íóÞÖöíó ÍóÇÌóÊåõ ãööäúåõ )ÑæÇå ÃÈæ ÏÇæÏ æÇáÍÇßã(

Artinya :

“Jika salah seorang dari kalian mendengar adzan sementara bejana masih ada di tangannya maka janganlah menaruhnya sampai dia menyelesaikan hajatnya dari bejana itu.” (H.R. Abu Daud dan Al-Hakim) ([4])

Sebagian pihak menisbatkan pendapat tersebut kepada jumhur shahabat, namun mayoritas riwayatnya tidaklah shahih atau tidak sah. Kalaupun ada yang sah, namun tidak secara terang atau jelas bahwa mereka berpendapat dengan pendapat tersebut. Sementara Al-Hafizh Ibnu Hajar menyebutkan bahwa hampir-hampir para fuqoha’ berijma’ (sepakat) dengan pendapat yang berbeda dengan pendapat yang dinisbatkan kepada jumhur shahabat di atas.

Seandainya hadits di atas shahih, maka ada beberapa kemungkinan makna yang dimaksud dengan hadits ini :

1. Bahwa hadits ini memberikan rukhshoh bagi orang yang kondisinya seperti tersebut bukan untuk semua orang, sehingga tidak boleh diqiyaskan dengan kondisi tersebut diatas .

2. Bahwa adzan yang dimaksud diatas adalah adzan yang terjadi sebelum fajar, hal ini semakna dengan penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa jilid 25 hal.216.

[1] Al-Bukhari Kitabush Shaum bab 18 hadits no : 1920

[2] Al-Bukhari Kitabush Shaum bab 21 hadits no. 1921 Muslim Kitabush shiyaam hadits no. 47-[1097]

[3] Al-Bukhari Kitabush Shaum bab 17 hadits no. 1918,1919, Muslim Kitabush shiyaam hadits no. 36-[1092], 37-[1093].

[4] Hadits ini dishohihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani v dalam Silsilatul Ahaditsish Shahihah no. 1394. Namun Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi v menyatakan hadits ini ada kelemahannya dalam kitabnya Tatabbu’ Auhamil Hakim hadits no. 732, 743, dan 1552.

(URL Sumber http://www.assalafy.org/mahad/?p=249, judul asli Mengakhirkan Sahur dan Jarak Waktu antara Sahur dengan Shalat)

4. Menyelisihi Ahlul Kitab dengan Sahur

Di antara perintah Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa Sallam kepada umat ini adalah agar mereka membedakan diri dengan Ahlul Kitab dan orang-orang musyrik, baik dalam perkara ibadah ataupun akhlak.

Allah subhananu wa ta’ala mewajibkan kepada kaum muslimin ash-shaum sebagaimana telah diwajibkan kepada umat sebelumnya, sebagaimana dalam ayat :

)íÃíøõåóÇ ÇáÐöíúäó ÂãóäõæÇ ßÊöÈó Úóáóíúßãõ ÇáÕøöíóÇãó ßãóÇ ßÊöÈó Úóáì ÇáÐöíúäó ãöäú ÞóÈúáößãú áÚóáßãú ÊóÊøóÞæäó( )ÓæÑÉ ÇáÈÞÑÉ :183(

Artinya :

“Wahai orang-orang yang beriman telah diwajibkan kepada kalian shaum sebagaimana telah diwajibkan kepada umat sebelum kalian, agar kalian bertakwa.”

Namun ada beberapa perkara dalam ash-shaum yang kita diperintahkan untuk membedakan diri dengan Ahlul Kitab, antara lain :

1. As-Sahur, Rasullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah menyebutkan dalam sebuah hadits dari shahabat ‘Amr bin ‘Ash, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berkata :

ÝóÕúáõ ãóÇ Èóíúäó ÕöíóÇãöäóÇ æó ÕöíóÇãö Ãóåúáö ÇúáßöÊÇÈö ÃóßúáóÉ ÇáÓøóÍóÑö )ÑæÇå ãÓáã(

Artinya :

“Pembeda antara shaumnya kita dengan shaumnya ahlul kitab adanya makan sahur.” ([2])

2. Bolehnya makan dan minum serta jima’ walaupun tertidur sebelum melakukan ifthor (berbuka). Sementara dalam shaumnya Ahlul Kitab bahwa barang siapa yang tertidur sebelum sempat berifthor maka dilarang baginya makan dan minum pada malam itu sampai keesokan harinya, sebagaimana telah disebutkan pada pembehasan sebelumnya.

3. Menyegerakan ber-ifthor (berbuka) sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah, bahwasannya Rasulloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berkata :

áÇó íóÒóÇáõ ÇáÏøöíúäõ ÙóÇåöÑðÇ ãóÇ ÚóÌøóáó ÇáäøóÇÓõ ÇáÝöØúÑó áÃöóóäøó ÇáíóåõæÏó æó ÇáäøóÕóÇÑóì íõÄóÎøöÑõæäó )ÑæÇå ÃÈæ ÏÇæÏ æ ÇÈä ÍÈÇä æ ÇÈä ÎÒíãÉ æÇÈä ãÇÌå æ ÇáÍÇßã(

artinya :

“Akan terus Islam ini jaya selama kaum muslimin masih menyegerakan berbuka (if-thor), karena sesungguhnya kaum Yahudi dan Nashoro selalu menundanya.”(H.R. Abu Daud, Ibnu Majah, Ibnu Khuzimah, dan Al-hakim)([3])

Perlu kita ketahui bahwa makan sahur adalah sesuatu yang disunnahkan dan terdapat padanya barakah yang banyak sebagaimana dalam hadits Anas bin Malik bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berkata :

ÊóÓóÍøóÑõæÇ ÝóÅöäøó Ýöí ÇáÓøóÍõæÑö ÈóÑóßóÉð )ãÊÝÞ Úáíå(

Artinya :

“Bersahurlah kalian karena sesungguhnya pada makan sahur ada barokah.” H.R. Al-Bukhari Muslim([4])

Diantara barokah yang dikandung pada makan sahur adalah :

1. Ittiba’ As-Sunnah (mengikuti jejak sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam),

2. Membedakan diri dengan Ahlul Kitab,

3. Memperkuat diri dalam ibadah,

4. Mencegah timbulnya akhlak yang jelek seperti marah dan lainnya dikarenakan rasa lapar,

5. Membantu seseorang untuk bangun malam dalam rangka berdzikir, berdo’a serta shalat di waktu yang mustajab,

6. Membantu seseorang untuk niat shaum bagi yang lupa berniat sebelum tidur.

Disimpulkan oleh Ibnu Daqiq Al-‘Id bahwa barokah-barokah tersebut ada yang bersifat kebaikan duniawi dan ada yang bersifat kebaikan ukhrawi([5]).

[1] Sahur (ÇáÓÍæÑ) dalam bahasa Arab memiliki dua bacaan dengan huruf as-siin yang difathah (ÇáÓóÍæÑ)bermakna makanan yang digunakan untuk makan sahur, dan dengan didhommah (ÇáÓõÍæÑ) bermakna perbuatan makan sahur itu sendiri (lihat Syarh Shohih Muslim Kitab Ash-shiyam Bab. 9 (hadits no. 45-[1095]).

[2] Muslim KitabushShiyaam bab 9 hadits no. 46-[1096]

[3] Hadits ini dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shohih Sunan Abi Daud no. 2353 dan Shohih Targhib no. 1075, dan Syaikh Muqbil tidak memberikan komentar terhadap hadits ini (lihat Tatabbu’ Awhamil Hakim hadits no. 1574).

[4] Al-Bukhari Kitabush Shaum bab 20 hadits no. 1923 dan Muslim Kitabush Shiyaam bab 9 hadits no. 45-[1095], An Nasai hadis no : 2146 -2150, Ibnu Majah no : 1692

[5] Lihat Fathul Baari Kitabush Shaum bab 20 hadits no. 1923.

(URL Sumber : http://www.assalafy.org/mahad/?p=248, judul asli Menyelisihi Ahlul Kitab dengan Sahur)